K3 dan MEA |
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah bergulir. Bersamaan dengan itu,
maka perdagangan bebas yang melingkupi barang dan jasa antar sesama
negara anggota ASEAN pun tak ada lagi batas. Sekat wilayah negara,
khususnya untuk bidang tenaga medis, arsitek, dokter gigi, perawat,
akuntan, tenaga riset, tenaga pariwisata, dan beberapa jenis pekerjaan
dan jasa sudah tiada. Mau tidak mau, siap tidak siap, bangsa Indonesia
harus menjalaninya. Begitu juga bangsa-bangsa di negara anggota ASEAN
lain. Pekerja Indonesia, Pelaku usaha di Indonesia, sama takutnya dan
sama khawatirnya dengan pekerja dan pelaku usaha di negara-negara
anggota ASEAN lainnya.
Berulangkali Presiden Joko Widodo mengingatkan kepada seluruh
masyarakat Indonesia bahwa seharusnya masyarakat Indonesia tidak perlu
takut dengan pemberlakuan MEA sejak 1 Januari 2016 ini. “Karena,
sebenarnya negara lain justru takut negara mereka akan kebanjiran produk
dan tenaga kerja Indonesia,” demikian kata Presiden dalam sebuah forum
Silaturahmi Kepala Desa dan Perangkat Desa se-Indonesia di Asrama Haji
Donohudan, Boyolali, beberapa waktu lalu.
Negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam, Laos, Myanmar, Singapura,
Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia, menurut Presiden Joko Widodo,
berkali-kali menyatakan kekhawatiran terhadap Indonesia saat MEA
bergulir
.”Yang perlu saya ingatkan bahwa mereka saja takut pada kita. Kok
kita ikutan takut? Jangan takut, jangan khawatir. Harus persiapkan diri,
apa yang kurang dan perlu diperbaiki,” ujar Presiden.
Dalam hal MEA, Indonesia harus pandai memanfaatkan peluang yang ada.
Harap Presiden Jokowi, semua yang bisa direbut harus direbut.
“Semuanya harus direbut. Itu tantangan kita. Mana yang tidak efisien,
diefisienkan. Mana yang kita lemah kompetisi, kita harus perbaiki. Mana
regulasi yang menghambat juga kita perbaiki. Di sebelah mana daya saing
kita, di sisi rakyat yang kita kurang harus kita perbaiki,” ujar
Jokowi.
Menurut Presiden, pasar yang luas dan punya sumberdaya alam yang
lebih baik. “Dan, jangan lupa kita juga punya tenaga kerja yang jauh
lebih kompetitif,” tegas Presiden.
Keunggulan Tenaga Kerja Indonesia
Dari sisi tenaga kerja, jumlah tenaga kerja potensial yang dimiliki
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak, tak adanya
sekat antar negara di ASEAN memang sangat menguntungkan. Saat ini jumlah
penduduk Indonesia mencapai 250 juta jiwa atau 40% dari populasi
penduduk ASEAN yang mencapai 650 juta jiwa. Sementara angkatan kerja di
Asean mencapai lebih dari 350 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja
Asean itu, Indonesia memiliki 122 juta tenaga kerja potensial.
Memang masih banyak yang harus diperbaiki untuk meningkatkan daya
saing tenaga kerja Indonesia agar bisa lebih memiliki daya saing.
Kompetensi sesuai dengan bidangnya menjadi faktor utama. Selain itu soal
perhatian para pekerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dan
lingkungan (K3L) harus mulai ditanamkan. Sebab, selama ini masalah K3L
masih dianggap sebagai pelengkap dunia ketenagakerjaan Indonesia. Banyak
pengusaha dan perusahaan yang mengangggap K3L masih sebagai divisi
pemborosan dan hanya “membuang” uang saja. Belum dianggap sebagai value
added atau nilai tambah dalam upaya persaingan usaha, bagi perusahaan.
Dan, modal bersaing bagi pekerja yang telah memiliki kompetensi dan
sertifikasi K3L.
Beberapa negara anggota ASEAN yang telah memiliki budaya K3L, seperti
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Filipina, tentu saja tidak
begitu saja akan menerima pekerja asal Indonesia yang tidak memliki
kompetensi di bidang K3L. Negara-negara itu tentu saja tidang ingin
menurunkan standar tenaga kerja di negara mereka hanya untuk bisa
menerima pekerja dari negara lain, termasuk dari Indonesia. Budaya K3L
bagi negara-negara itu adalah hal penting yang tidak bisa dipisahkan
dari dunia ketenagakerjaan. Untuk ini, tenaga kerja dan dunia usaha
Indonesia harus mengejar agar tidak kehilangan kesempatan bersaing.
Sebagai upaya untuk meraih pasar tenaga kerja di ASEAN, dan dunia
internasional lain, maka tahun ini bulan K3 nasional mengetengahkan tema
besar yakni: “Tingkatkan Budaya K3 untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing di Pasar Internasional”. Tema
yang sejalan dengan awal berlakunya MEA, dimana seluruh wilayah ASEAN
tidak ada lagi sekat wilayah bagi tenaga kerja dan pergerakan ekonomi.
“Guna meningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia, kita tidak bisa
lagi mengabaikan masalah K3,” demikian Menteri Ketenagakerjaan M Hanif
Dhakiri ketika ditemui Katiga beberapa waktu
lalu. K3 menjadi instrumen penting bagi tenaga kerja Indonesia untuk
dapat bersaing mendapatkan pangsa pasar di Asia Tenggara yang sudah
terbuka.
Harus diakui bahwa selama ini masyarakat belum menganggap K3 sebagai
sesuatu yang penting dalam kehidupan keseharian. K3 masih sering
diperlakukan sebagai atribut semata yang tidak memiliki keharusan untuk
ditaati.
“Masyarakat selama ini belum sepenuhnya memahami arti pentingnya
K3,” ungkap Hanif. Padahal, lanjut Sang Menteri Ketenagakerjaan, K3
adalah instrumen pentng dan seharusnya menjadi gaya hidup masyarakat,
baik di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakat.
“Kami ajak masyarakat untuk bersama-sama menggelorakan K3 di semua
sektor pekerjaan, dari berangkat sampai pulang kerja, intinya selamat
dan sehat,” ajak Hanif. Kita menginginkan kesadaran masyarakat tentang
K3 sebagai safety in my life, tambah menteri.
Memang selama ini pekerja di Indonesia kurang mementingkan
keselamatan dalam bekerja. Hal-hal yang kelihatan sepele misalnya
menggunakan helm dan sepatu, seringkali pekerja abai, padahal perusahaan
telah menyediakannya. Sementara pihak perusahaan pun kurang tegas dalam
melaksanakan peraturan perundangan dalam penerapak K3. Tentu kesadaran
masyarakat harus digugah dan tidak boleh terus menerus berperilaku
seperti itu. Seluruh elemen masyarakat, khususnya pemerintah, pengusaha,
dan pekerja, dan umumnya masyarakat luas seluruh Indonesia, harus mulai
mengkampanyekan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja dan
lingkungan (K3L). K3L harus mulai dibudayakan dan seterusnya menjadi
budaya dan etos kerja seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk tujuan itu, Menaker M. Hanif Dhakiri menginstruksikan kepada
perusahaan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air untuk sesegera
mungkin menerapkan program Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (MSK3). Seluruh perusahaan dan industri, tanpa kecuali, harus
menerapkan SMK3, imbuhnya. Perusahaan harus memastikan agar K3 bisa
terlaksana dengan baik. Untuk itu Kementerian Tenaga kerja akan terus
mengawasi dan tentu saja memberikan pembinaan secara intensif agar K3
dapat diterapkan dengan baik. Akhirnya diharapkan agar bisa bersama-sama
berperilaku sehat dan membudayakan K3 di mana pun. Dengan semakin
membudayanya K3, daya saing tenaga kerja Indonesia akan semakin tinggi
sehingga bisa merebut sebagian besar pangsa pasar ketenagakerjaan di
Asean.
Sosialisasi tidak Boleh Setengah Hati
Belum membudayanya keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia
terjadi karena banyak faktor. Regulasi yang dipersiapkan oleh
pemerintah, ketaatan perusahaan dan industri, sikap masyarakat yang
permisif dan serba maklum, adalah sebagian dari faktor belum dianggap
pentingnya K3 di Indonesia, khususnya dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Akan tetapi kondisi seperti itu tidak boleh terus berlanjut. Seluruh
komponen bangsa harus mulai mengubah pola pikir dan pandangan tentang
keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan.
Masyarakat harus mulai membiasakan diri bahwa sekecil apapun risiko
kerja, baik bagi dirinya maupun lingkungan. Sekecil apapun luka akibat
kerja, misalnya tergores peralatan kerja, tidak bisa lagi dianggap luka
kecil yang harus disikapi dengan serius. Kebiasaan permisif dan
permakluman seperti itu harus dihilangkan. Sekecil apapun luka akibat
kerja harus ditangani dengan benar dan baik. Seremeh apapun kerusakan
lingkungan akibat sebuah pekerjaan atau industri harus dimanaj dengan
benar.
Kerja keras pemerintah dan seluruh stake holder ketenagakerjaan harus
dimulai. Dari sisi pemerintah harus membiasakan untuk memberi teguran
atau tindakan seringan apapun kepada perusahaan atau industri dimana
pekerja mengalami kecelakaan kerja. Harus dimulai penegakan aturan
sebagaimana disebut dalam regulasi yang ada.
Sosialisasi tentang K3 yang selama ini belum maksimal, harus
dimaksimalkan. Sosialisasi akan terus digalakkan baik kepada masyarakat
pekerja, pengusaha, maupun pada masyarakat umum. Bukan hanya karena K3
elemen penting bagi keselamatan pekerja dan lingkungan, tetapi juga
menjadi faktor penting dalam menjaga daya saing pekerja Indonesia dalam
MEA. “Pemerintah akan terus melakukan apapun untuk sosialisasi masalah
K3 ini,” demikian Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK dan K3) Kementerian Ketenagakerjaan
Muji Handaya pada Katiga di kantornya awal Januari 2016 lalu.
Kurangnya sosialisasi selama ini menjadi salah satu sebab utama
terjadinya kecelakaan kerja di Indonesia. Akibat kurang sosialisasi itu
adalah masih rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) di kalangan industri dan masyarakat. “Dari
jumlah angkatan kerja 2015 sebanyak 121 juta, secara faktual mereka baru
mengetahui masalah K3 setelah memasuki dunia kerja,” demikian Muji
Handaya.
Akibatnya, 98 ribu hingga 100 ribu kasus kecelakaan kerja terjadi
setiap tahunnya di Indonesia. Kecelakaan tersebut terjadi di kegiatan
aktivitas formal dan informal, termasuk ledakan atau kebakaran. Dari 98
ribu, ada 2.400 orang yang tewas, belum termasuk cacat tetap sebanyak 40
persen, cacat anatomis dan cacat fungsi.
Tidak maksimalnya sosialisasi K3 di Indonesia, negara di Asean yang
paling banyak jumlah penduduk dan angkatan kerjanya, juga disebabkan
serapan masyarakat pekerja Indonesia akan pengetahuan dan perilaku K3
yang masih kurang. Hal ini dikarenakan mayoritas tenaga kerja Indonesia
memiliki pendidikan rendah. “Asumsinya, tak punya pengetahuan dan
perilaku K3,” kata Dirjen PPK dan K3.
Pemerintah terus melakukan upaya-upaya pencegahan dan memberikan
reward dan punishment bagi pelaksanaan SMK3 di perusahaan-perusahaan dan
industri. Sosialisasi K3 dengan cara ini lumayan efektif, meskipun
belum sesuai dengan harapan. “Tetapi sudah ada banyak peningkatan,”
ungkap Muji Handaya. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya perusahaan
dengan nihil kecelakaan pada tahun 2015 lalu. Jumlah perusahaan yang
menerima penghargaan nihil kecelakaan pada tahun 2015 lalu mencapai
7.249 perusahaan atau meningkat 14,95 persen dibandingkan tahun 2014.
Sementara penerima penghargaan secara keseluruhan meningkat 25 persen
dibandingkan tahun sebelumnya.
Agar terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan K3 dan kemudian
menjadikan K3 sebagai budaya, memang masih dibutuhkan sosialisasi yang
lebih serius. Pemerintah terus melakukan upaya-upaya pencegahan dan
memberikan reward and punishment bagi
pelaksanaan sistem manajemen K3 (SMK3) di perusahaan-perusahaan. Selama
ini pemerintah fokus pada upaya-upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Dalam hal sosialisasi tentu saja pemerintah tidak
setengah hati. Pemerintah serius dalam hal ini. Dengan keseriusan itu
tujuan K3 akan tercapai. Tujuan K3 adalah untuk memelihara kesehatan dan
keselamatan lingkungan kerja. Praktik K3 meliputi pencegahan, pemberian
sanksi, dan kompensasi, juga penyembuhan luka dan perawatan untuk
pekerja dan menyediakan perawatan kesehatan dan cuti sakit.
Menjadikan K3 Sebagai Isu Penting
Satu diantara sekian banyak kendala belum berkembangnya K3L di
Indonesia adalah belum dianggap pentingnya isu tentang K3. Organisasi
serikat pekerja/buruh dan aktivis ketenagakerjaan hampir tidak pernah
menyuarakan isu K3. Karena K3 bukan isu yang seksi di ranah
ketenagakerjaan Indonesia. Padahal, K3 merupakan salah satu aspek
penting dalam perlindungan ketenagakerjaan disamping perlindungan
pengupahan, jaminan sosial, kebebasan berserikat, hubungan kerja, dan
lainnya.
“K3 di kalangan serikat pekerja/buruh bukan isu yang seksi dibanding
dengan isu lain seperti kenaikan upah, THR, UMP, out sourching, atau
mogok kerja,” demikian pendapat Mirah Sumirat Presiden Asosiasi Serikat
Pekerja (Aspek) Indonesia, kepada Katiga di
kantornya bilangan Condet Jakarta. Untuk itu, tambah Mirah, pelaksanaan
K3 di lingkungan kerja dan kegiatan masyarakat merupakan kegiatan lintas
sektoral, sehingga tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi
juga merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk serikat pekerja.
Lebih lanjut Mirah menegaskan pengusaha harus menyadari bahwa
penerapan K3 merupakan investasi Sumber Daya Manusia yang menentukan
keberhasilan perusahaan bersaing secara nasional maupun ditingkat
global. Dan SMK3 merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan
secara keseluruhan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien
dan produktif.
K3L bukanlah sebuah pemborosan dan beban anggaran bagi perusahaan, tetapi merupakan value added
bagi sebuah perusahaan. Banyak perusahaan multi nasional yang justru
sangat mengandalkan K3L di perusahaannya sebagai komponen untuk meraih
pangsa bisnis. Tanpa memperhatikan K3 perusahaan itu akan mengalami
kerugian besar karena tidak mendapat kontrak kerja sama bisnis.
Perusahaan-perusahaan besar nasional pun sudah banyak yang menjadikan
K3L sebagai ujung tombak “kerajaan” bisnis mereka. K3L bagi
perusahaan-perusahaan ini adalah bagian terpenting dari manajemen dan
menjadi ujung tombak dalam persaingan bisnis.
Berkaitan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) semakin terasa
pentingnya peranan K3 dalam meraih peluang bisnis. Apalagi beberapa
negara Asean sudah menjadikan K3 sebagai budaya keseharian, dan mereka
tidak mungkin menurunkan level keselamatan dan kesehatan kerja mereka
dengan menerima rekanan bisnis dari Indonesia yang tidak mengindahkan
masalah K3.
“Penerapan SMK3 juga menjadi persyaratan bagi perusahaan-perusahaan
Indonesia agar tidak kalah bersaing di dalam era MEA. Penerapan SMK3
yang terintegrasi menjadi tuntutan utama dalam pemenuhan standar
Internasional terhadap produksi dan penjualan produk barang atau jasa,”
kata Hanif, dalam siaran persnya, Selasa (12/1).
Hanif mengatakan dalam menghadapi MEA dan persaingan perdagangan
internasional, azas penerapan K3 disebuah perusahaan merupakan syarat
utama yang berpengaruh besar terhadap nilai investasi, kualitas dan
kuantitas produk dan jasa, kelangsungan usaha perusahaan serta daya
saing sebuah negara.
Oleh karena itu, kata Hanif produk barang atau jasa yang dihasilkan
perusahaan harus memiliki mutu yang baik, aman dipergunakan, ramah
lingkungan serta memenuhi standar internasional yang ketat seperti
sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, sistem manajemen K3
serta standar-standar lainnya.
“Tuntutan standarisasi penerapan SMK3 dari masyarakat dan
negara-negara lain akan semakin meningkat. Mereka tentunya akan memilih
perusahaan-perusahaan yang benar-benar menerapkan standar mutu dan
standar SMK3 dalam seluruh kegiatan produksinya,” kata Hanif.
Bagikan
Peran Strategis Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
4/
5
Oleh
Unknown